Postingan

Bicara Resign dan Kegagalan

Halo teman-teman yang (semoga) berbahagia... Kangen nuliiiis... Bangeet ! Tapi, akhir-akhir ini isi kepala lagi gak bisa digambarkan dengan rangkaian kata-kata. Padahal, sejak ruang kata dibuka kembali, sudah buat janji sama diri sendiri bahwa ruang kata akan diisi satu tulisan setiap hari. Tapi, ya.. gitu.. kembali lagi ke kalimat pertama paragraf ini. Dasar, manusia mudah sekali membuat janji lalu mengigkari. Begini, saya sedang ingin banyak bicara tapi enggan bersua. Jadi diwakilkan oleh aksara. Gakpapa, ya... Saya akan membicarakan tentang karir dan kegagalan. Ini hanya sudut pandang saya saja.  Soal "Kegagalan" saya jadi kepikiran, sejak kecil ada doktrin tak kasat mata yang kita anut dan yakini: lahir, sekolah, kuliah, lulus, bekerja, menikah, punya anak lalu mati. Seolah inilah rumus bahagia yang paling hakiki. Tidak salah juga untuk percaya. Tapi bagian paling menyiksanya adalah saat menemui beberapa fase dan kita merasa tertinggal dari teman sebaya. Sementara itu, ke

Menjadi Seorang Pemberani

Aku masih ingat betul, sejak tahun ini dimulai, aku menargetkan beberapa hal. Aku mengamini dan mengimani setiap rinci mimpi-mimpiku itu. Tapi satu tahun hampir berlalu dan seluruh dunia seperti berhenti, padahal aku sudah memberikan versi diriku yang paling baik, terlepas dari kenyataan bahwa aku ini pribadi yang begitu sulit.  Kemudian segalanya terasa semakin berkelok, tapi aku yakin aku masih mampu memegang kendali. Aku setir hasrat dan perspektifku untuk mengikuti, tapi benarkah sebentar lagi semuanya selesai ? Aku tidak tau akan seperti apa jadinya ketika aku sampai di puncak dari segala mimpiku itu. Begitu besar, begitu dahsyat, begitu luar biasa, sampai-sampai aku takut ikut mati bersamanya.  Aku tidak tahu apakah krisis akhir tahun itu benar-benar ada ?  Akhir-akhir ini seperti ada yang memburuku, menyuruhku untuk bergegas setiap hari. Aku selalu pergi dengan tergesa-gesa lalu pulang dengan debar tidak karuan. Aku tidak tau apa yang membuat hidup begitu mengkawatirkan. Ketakut

Tugas-tugas (Puisi)

Gambar
Malam, hujan seharusnya jendela sudah tertutup rapat kita seharusnya sudah terbaring di kasur lampu kamar kita seharusnya sudah padam kita seharusnya sudah berkirim pesan "Selamat tidur" Tapi kita sepakat membuat mata kita terjaga lembaran kertas dan segumpal tanya meniduri kepala kita penuh dengan jajaran tugas hingga lupa caranya tidur hingga malam selesai Hanya malam yang selesai tugas-tugas kita, tidak.

Aku ingin (Puisi)

Gambar
Ibu, aku ingin menjadi matahari yang terang dan memberi kehidupan bagi bumi datang dan perginya selalu dinanti berada ditempat tertinggi kesana kemari memberi warna bagi seluruh penduduk bumi Menjadi matahari dapatkah aku, Ibu ?

Warna Matahari (Puisi)

Gambar
Kau kah itu, matahari ? darimana kau berguru meramu warnamu yang terang itu ? mengapa padaku tak pernah kau nampakkan warnamu ? Wahai matahari Darimana pula kau mendapat warna itu ? yang besinar, panas dan berkilau Sebentar, tunggu dulu. seperti apa warnamu ? merah kuning jingga atau ungu ? Dapatkah kau beri tahu aku ? Dimana gerangan kau datang, matahari ! mengapa padaku kau hanya memberi gelap ? mengapa hanya gelap ? Hitam. Pekat. Seindah apa cahaya mu ? seterang apakah kau ?  tunjukkan padaku ! kubilang, tunjukkan padaku ! MATAHARI : Nak, pejamkan matamu. pejamkan dengan perlahan lihatlah dengan cermat ke dalam dirimu tataplah dirimu, nak. intimu. jiwamu. Apa kau lihat ? di dalam sana ada yang sedang berkembang bersinar merah, kuning, jingga, dan ungu Berpadu sangat indah. Di dalam sana ada yang bercahaya cahayanya memberi kehidupan daun demi daun tumbuh. bunga demi bunga merekah. Di dalam sana ada yang bersinar sinarnya terus saja naik semakin terang semakin terang semakin terang s

Sebuah Kecuali (Puisi)

Gambar
Selamat pagi, matahari... kau rajin sekali  bangkit setiap hari Ibu bilang, kau setia muncul dari Timur di waktu pagi lalu pergi ke arah barat disore hari tapi... mengapa padaku kau tak pernah menampakkan diri ? Ibu bilang, karenamu teranglah bumi tapi... mengapa padaku kau hanya memberi sepi kota ini bagai kotak hitam tanpa isi Ibu bilang, Setiap hari angkasa raya kau susuri tapi.. mengapa aku tak jua kau kunjungi ? Ibu juga bilang, kau bintang besar yang tiada bisa ditandingi tapi... mengapa kau selalu lari dan pergi dari aku yang kecil ini ? Matahari, apakah aku kau musuhi ? atau aku sebuah kecuali ? aku juga penduduk bumi aku juga ingin disinari

Membunuh Dermaga (Cerpen)

Laut menguning ditepian senja, camar-camar beterbangan kembali ke sarangnya di pucuk-pucuk cemara. Deburan ombak menepis pantai bertaburkan karang-karang kecil, meninggalkan garis hitam tipis di bibir pantai berpasir putih. Rahman berdiri seorang diri di atas dermaga tua, wajahnya menengadah menatap langit senja, kedua tangannya memegang erat besi pembatas dermaga yang mulai karatan dimakan waktu. Rahman, pemuda tanggung yang hanya tamatan Madrasah Aliyah dengan tampang tak terurus itu begitu menyukai suasana senja kali ini. Dagunya ditopang pada besi pembatas pinggiran dermaga, terkadang segurat senyum mengembang dibibirnya, tergelitik bahagia hatinya kala membayangkan pertemuan dengan gadisnya disenja ini nantinya. Tadi pagi, gadis harapnya telah berpesan akan menemui Rahman senja ini di dermaga. Dengan bahagia dia berteriak ke arah laut yang menjingga, mencoba mengalahkan dentuman gelombang yang bersahut-sahutan. "Karena..,/ wahai jelmaan Cleopatra,/ biar darah mengali